Minggu, 04 Januari 2009

Jual Pendidikan dengan UU BHP...?

Kapitalisme ternyata sudah merambah kemana-mana, ke semua aspek kehidupan. Kemarin telah disyahkan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan oleh DPR, yang ditentang oleh berbagai kelangan termasuk mendiknas sendiri. Lalu apa yang menjadi penyebab penolakan UU BHP ini? kalo kita baca isi draft RUU nya, bisa ditarik kesimpulan bahwa satuan pendidikan (Sekolah, PT) yang nantinya sudah di-BHP-kan akan seperti layaknya perusahaan yang orientasinya pada keuntungan, jadi pendidikan itu didagangkan, kalo dagang kan pasti cari untung. coba perhatikan salah satu isi UU ini :
Pasal 4 ayat 1:
Dalam pengelolaan dana secara mandiri, BHP didasarkan pada prinsip
nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa
lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP,
maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali
ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.
Meskipun disitu disebutkan bahwa sisa hasil keuntungan dikembalikan untuk peningkatan mutu layanan namun sepertinya mengadung kelemahan, biasanya sisa keuntungan itu ya dibagi-bagi bukan untuk meningkatan mutu. Di samping itu yang sangat ditentang adalah adanya kewenangan pihak sekolah untuk memungut biaya lebih besar lagi dari masyarakat, kalo ini terjadi ya yang bisa sekolah pastilah orang yang berduit sedangkan dalam undang undang dasar disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara karena memang itu tugas negara.
So mau gimana lagi, untuk bisa pintar itu sussah… di negeri ini, kapitalisme itu ternyata menyengsarakan, ada alternatif ga?

sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/07/opini/3798635.htm
Menolak RUU BHP
Darmaningtyas
Departemen Pendidikan Nasional dan DPR tengah menggodok Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dan ditargetkan dapat disahkan
menjadi undang-undang tahun 2007 ini. RUU BHP diinisiasi sejak
2003, tetapi sampai sekarang belum disahkan. Ini membuktikan bahwa
RUU BHP sangat problematik dan tidak layak disahkan menjadi
undang-undang.
Draf RUU BHP yang terakhir (22 Agustus 2007) sudah lebih baik
karena ada penegasan tentang tanggung jawab pendanaan dari
pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945, tetapi
sifatnya setengah-setengah karena muncul rumusan "…minimal 60 persen
dari kumulasi biaya operasi, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan
biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHP tersebut" (Pasal 23
Ayat 4). Adapun Pasal 23 Ayat 5 membatasi partisipasi masyarakat
dalam pendanaan pendidikan maksimal 20 persen dari biaya
operasional satuan pendidikan pada BHP.
Munculnya Pasal 23 Ayat 4 itu merespons kritik bahwa RUU BHP adalah
upaya pemerintah melepaskan tanggung jawab pendanaan pendidikan.
Hanya saja, meresponsnya setengah hati. Ayat 5 menunjukkan adanya
kemauan politik dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk menekan
pungutan-pungutan biaya pendidikan yang dikeluhkan oleh masyarakat
selama ini. Namun, ini sekaligus menjadi bumerang bagi BHP yang
diselenggarakan masyarakat (baca: sekolah swasta) ketika dalam
praktiknya pemerintah hanya memberikan 60 persen dari total biaya
operasional sekolah, sedangkan masyarakat hanya boleh membayar
maksimal 20 persen. Bagaimana sekolah tersebut harus menutup
kekurangan biaya operasional yang 20 persen?
Sebuah UU yang mengatur hak dan kewajiban bagi warga dan negara
haruslah jelas agar mudah diimplementasikan dan tak multitafsir.
Apalagi UU yang mengatur masalah pendidikan harus jelas arasnya,
yaitu Kovenan Ecosoc PBB dan Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan
itu merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga dan tugas
negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketidakjelasan tanggung jawab negara itu juga terlihat dalam hal
penyediaan tenaga guru dan dosen. Pasal 29 Ayat 1-4 hanya mengatur
status karyawan BHP yang terdiri atas pendidik, tenaga kependidikan
lainnya, dan tenaga penunjang; yang pengangkatan/pemberhentiannya
oleh BHP berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Adapun Pasal 30 Ayat 1 dan 2 hanya mengatur status PNS yang dapat
menjadi karyawan BHP dengan status PNS yang dipekerjakan. Kedua
pasal sama sekali tidak mengatur secara jelas tanggung jawab negara
dalam penyediaan tenaga pendidik (guru dan dosen) serta
kependidikan bagi semua sekolah.
Meliberalisasi pendidikan
Selain mencerminkan tanggung jawab negara yang setengah hati, RUU
BHP ini juga melegitimasi liberalisasi pendidikan. Hal itu terlihat
jelas pada Pasal 8 Ayat 1 dan 2 yang memperbolehkan lembaga
pendidikan asing yang telah terakreditasi mengadakan pendidikan di
Indonesia dengan menyediakan biaya penyelenggaraan satuan
pendidikan maksimal 49 persen dari kebutuhan penyelenggaraan satuan
pendidikan. Pasal ini melegitimasi Peraturan Presiden Nomor 76 dan
77 Tahun 2007 tentang sektor-sektor yang tertutup dan terbuka untuk
penanaman modal asing (PMA), yang salah satunya adalah sektor
pendidikan, termasuk pendidikan dasar dan menengah dengan
kepemilikan maksimal 49 persen. RUU BHP ini juga mengukuhkan
keberadaan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yang
sekarang dampak kemahalannya sudah dirasakan secara luas.
RUU BHP ini tak hanya mengatur pendidikan tinggi, tetapi semua
jenjang pendidikan dari pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi (Pasal 1 Ayat 1 dan 5). Jadi sama sekali tidak benar
bantahan-bantahan yang diberikan Depdiknas atau anggota DPR bahwa
RUU BHP ini lebih fokus pada perguruan tinggi saja.
Kelemahan mendasar RUU BHP ini adalah hanya didasarkan pada Pasal
53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas). Padahal pasal tersebut pernah digugat oleh sekelompok
masyarakat untuk dibatalkan karena dinilai melanggar konstitusi,
tetapi ditolak Mahkamah Konstitusi.
Ironis bahwa RUU BHP—termasuk naskah akademiknya yang menjadi roh
dari RUU—sama sekali tidak merujuk pada Pancasila dan UUD 1945.
Sebaliknya roh dari RUU BHP itu sangat pragmatis dan liberal.
Yang pasti, RUU BHP ini akan menghapus keragaman institusi
pendidikan yang ada selama ini. BHP yang selama ini sudah ada,
seperti yayasan dan perkumpulan, semua harus segera menyesuaikan
dengan UU BHP.


Oleh : Darmaningtyas Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku Bicara © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute