Kamis, 05 Maret 2009

Sistem Ekonomi Syariah di Antara Sistem Kapitalisme dan Sosialisme

Author: lutfi fadila. 9 November 2006 : 12:02 pm.

Para buruh kerap kali mengadakan demonstrasi kepada, agar sistem kontrak kerja yang diberlakukan perusahaan dihapus. Di lain waktu para karyawan menuntut kenaikan gaji. Di saat lain para pekerja menodong janji THR yang belum dibayarkan.

Itulah selintas gambaran tentang akibat peradapan dunia saat ini yang didominasi oleh gaya hidup masyarakat kapitalis. Para pemegang kapital, yaitu pemilik perusahaan hanya sibuk menumpuk dan menambah modal mereka tanpa memperhatikan kesejahteraan para karyawan yang telah menopang kelangsungan produktifitas perusahaan ataupun kemakmuran masyarakat di sekitar perusahaan itu didirikan.

Tak jarang hal tersebut menimbulkan banyak protes dari berbagai kalangan yang memplokamirkan diri sebagai golongan antikapitalisme. Namun, para kapitalis tetap berkuasa di atas jerih payah tenaga pekerja-pekerja mereka. Apalagi dengan sokongan sistem ekonomi kapitalis yang telah menggurita di dunia, perbedaan antar pengusaha dan buruh tampak nyata. Kaum konglomerat semakin kaya dengan tumpukan harta yang terus berbunga, sedangkan kaum proletar makin terpuruk dalam lilitan hutang yang beranak pinak.

Salah satu usaha protes terhadap sistem masyarakat kapitalis pernah dilakukan negara tirai besi, Uni Sovyet. Pemerintah negara Uni Sovyet mencoba menerapkan sistem ekonomi sosialis yang dicetuskan Karl Marx dalam kitabnya, Das Kapital. Pemerintah mengusahakan pemerataan ekonomi penduduk dengan menguasai dan mengontrol semua sumber daya alam, industri-industri penting, perbankan, dan sarana publik. Tujuan akhir dari sistem ini adalah, kesejahteraan yang merata dalam masyarakat tanpa ada hirarki kelas sosial. Namun, sebelum cita-cita tersebut tercapai, sistem sosialis runtuh karena perselisihan antar pimpinan dan korupsi di dalam tubuh pemerintah itu sendiri. Dengan kata lain, sistem ekonomi sosialis tidak berhasil memeratakan kesejahteraan rakyat namun malah memperpuruk rakyat ke dalam kemiskinan karena dominasi pemerintah membuat roda perekonomian tidak berkembang.

Lantas, perekonomian yang bagaimanakah yang mampu menciptakan kesejahteraan rakyat tanpa harus ada dominasi dari satu pihak tertentu? Adam Smith, penggagas sistem ekonomi kapitalis, menyisipkan catatan bahwa dunia yang paling baik adalah dunia tanpa “bunga”. Dalam bukunya, The Wealth of Nation, dia mengakui adanya sistem ekonomi yang sukses membawa masyarakat pada kemakmuran, yaitu perekonomian di era masyarakat madani pada abad ke 6 M silam.

Prinsip kemitraan, saling percaya, jujur, dan tanpa membungakan modal adalah penyangga utama suksesnya roda perekonomian di masa kepemimpinan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin di Kota Madina. Dengan menggali kembali kearifan di abad yang telah lampau, umat islam seluruh dunia berusaha mengadopsi kembali sistem perekonomian yang sesuai syariat Islam.

Sistem perbankan syariah yang mulai mendapat tempat di hati masyarakat, berkembang pesat selama enam tahun terakhir. Karena selain terbukti survive dalam melewati masa krisis moneter di tahun-tahun menjelang abad millenium, kehadiran bank-bank syariah mampu menjawab perdebatan para ulama tentang hukum halal haramnya sistem perbankan di Indonesia. Di samping itu, perbankan syariah memiliki poin plus dalam membantu meningkatkan kesejahteraan dan meringankan beban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Keunikan dari bank syariah adalah prinsip bagi hasil yang diterapkan dalam transaksi antara dua pihak; pemilik modal (shahibul maal) dan penerima modal (mudharib), yang sepakat untuk membiayai dan melakukan suatu usaha. Prinsip bagi hasil adalah suatu pembagian hasil dari pendapatan atau keuntungan usaha yang diperoleh mudharib sesuai dengan akad awal. Contoh: seorang mudharib hendak merintis usaha mebel dan meminjam dana ke bank syariah. Jika kedua pihak sepakat membagi hasil pendapatan usaha dengan perbandingan nisbah 40:60 untuk shahibul maal dan mudharib, maka mudharib wajib melunasi pokok pinjaman beserta 40% hasil pendapatan selama beberapa kali angsuran sesuai dengan waktu yang telah disepakati.

Bagi mudhorib, prinsip bagi hasil yang diterapkan sangat menguntungkan karena angsuran pengembalian pinjaman setiap bulannya adalah tetap, sesuai dengan akad awal. Tidak akan terpengaruh oleh gejolak politik atau moneter yang tidak stabil. Sistem tersebut berbeda dengan bank konvensional yang menetapkan persen bunga—dari pokok pinjaman—yang selalu terpengaruh oleh spekulasi pasar. Bunga kredit bisa naik atau turun, tergantung situasi politik atau moneter. Itulah sebabnya di masa-masa krisis moneter tahun 1998-2002, banyak perusahaan bangkrut, UKM gulung tikar, serta bank-bank kolaps karena banyaknya kredit macet. Para kreditor tidak mampu membayar bunga bank yang mencekik leher.

Para calon mudharib yang pertama kali melihat perhitungan angsuran yang diterapkan oleh bank syariah mungkin merasa keberatan, karena mengganggap jumlah angsuran yang harus dibayar terlalu tinggi. Namun, jika dilihat keseluruhan secara teliti, cicilan tersebut sangat ringan, karena mudharib akan membayar jumlah cicilan yang tetap setiap kali pelunasannya. Berbeda dengan sistem cicilan yang diterapkan dalam bank konvensional. Nasabah selain harus melunasi pokok pinjaman yang berbunga, dia juga harus membayar bunga dari bunga pokok pinjaman. Otomatis yang dibayarkan oleh kreditor setiap bulannya adalah bunga dari bunga yang setiap bulan bertambah memberatkan.

Keunggulan lain bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah ketepatan dalam menyalurkan dana. Bank syariah memperoleh keuntungan dari nisbah dan margin (fee atas jasa perbankan yang dilakukan bank), oleh karena itu semua dana di bank syariah benar-benar diinvestasikan untuk usaha dan pembiayaan bagi kepentingan mudharib. Sehingga tampak jelas bahwa modal yang masuk dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat. Dalam perekonomian kapitalis, bank konvensional mendapat keuntungan dengan mengalokasikan sebagian besar dananya dengan cara berspekulasi di sektor moneter maupun riil.

Yang terpenting dari semua nilai lebih di atas, bank syariah hadir dalam koridor yang sesuai syariat agama, yaitu tidak mengandung unsur maisir (judi), gharar (penipuan), haram, riba, dan bathil (rusak/tidak syah). Sehingga, tidak ada pihak-pihak yang akan dirugikan dalam bekerjasama dengan bank syariah.

Sebagai pihak shahibul maal (penabung/debitor), nasabah juga dapat merasakan nilai plus bank syariah. Keuntungaan yang diperoleh shahibul maal dihitung dengan menggunakan perhitungan bagi hasil yang halal. Selain itu shahibul maal telah bertindak sebagai investor yang membantu menyalurkan surplus dana yang dimilikinya kepada pihak-pihak yang minus dana. Dengan banyaknya dana dari pihak ketiga yang dihimpun maka dana yang disalurkan untuk investasi juga bertambah. Hal tersebut akan berpengaruh pada peningkatan jumlah pendapatan mudharib, yang pada akhirnya berpengaruh pada jumlah bagi hasil yang diterima nasabah. Dengan jumlah pendapatan yang saling bertambah, maka kesejahteraan penduduk dapat tercapai tanpa ada unsur persaingan dalam membungakan uang. Insya Allah.

Dalam menghimpun dan menyalurkan dana, bank syariah tidak terfokus pada salah satu umat beragama saja. Islam menghendaki ajaran aturan yang diterapkan dapat memberi manfaat bagi seluruh umat di muka bumi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku Bicara © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute